Jumat, 29 Juli 2016

Adat dan Budaya Lamaholot Flores

Budaya masyarakat Flores pada umumnya dikenal dengan berbagai suku agama dan ras berbeda, namun selalu terjalin ikatan kekeluargaan yang tidak mudah untuk di pengaruhi oleh perkembangan dunia dewasaini.  Kehidupan iman yang nyata dalam nilai-nilai keagamaan merupakan fondasi yang kokoh dan sangat penting keberadaannya. Bila hal ini tertanam serta terpatri dalam hidup anak sejak dini merupakan awal yang tepat dan baik. Menanamkan cara hidup yang baik dan benar melalui kerja keras dan kehidupan doa yang intens merupakan tugas orangtua sebagai guru pertama dan utama dalam membangun sebuah keluarga dalam budaya lamaholot yang telah tertanam sejak nenek moyang kala itu.

http://budayaku1.blogspot.co.id/2016/07#adat-dan-budaya-lamaholot-flores/30_html          
Sebagai seorang generasi dari suku dengan budaya lamaholot,  tugas panggilan dan pelayanan tidak saja bertumbuh subur dalam diri, keluarga tapi harus dari dalam diri dan meresap hingga di tengah masyarakat sekitar. Jika hal ini sudah tertanam dari dalam diri tentu akan terus tumbuh dan berkembang dimanapun berada tanpa menghilangkan budaya yang tertanam. Banyak kasus yang kita alami di dalam perkembangan hidup bermasyrakat terutama di Negara kita, yang  mana kasus kekerasan  yang tibul dan para pelaku tidak lain adalah orang Flores. 
Dan ini adalah kenyataan akibat dari  priba dan watak keras sekeras batu karang.   Dengan prinsip yang sudah ditanam dari dalam diri yakni katakan salah jika itu salah dan katakana benar apa bila itu benar tanpa  tawar  menawar bahkan nyawanya  jadi taruhan sekalipun. Bagi orang Flores itu hal yang bias saja akibat pengaruh budaya  Paji dan Demong yang sudah di tinggalkan para penjajah kala itu.  Ini watak yang  nampak dari luar  pribadi oknum yang kurang memahami akan arti dari nilai-nilai hidup dan kehidupan itu sendiri. Rasa dendam dan  iri hati tidak di ajarkan namun nilai moral yang dibentuk dari dalam diri, keluarga suku maupun masyarakat untuk saling menghargai, saling menolong. Ini hal yang terpenting dan bukan harta atau warisan yang akan dibawa mati namun budi yang akan dikenang selamanya.  

Dalam budaya Lamaholot iman yang telah dimiliki orangtua serta anak-anak, harus menjadi terang dan garam  di tengah umat dan masyarakat. Dari hidup bersama dalam keluarga inilah, tumbuh kewajiban-kewajiban untuk saling membantu, bersikap jujur dan terbuka yang keluar dari sikap iman, harap dan kasih yang perlu ditumbuhkan dan pertahankan dalam sikap hidupan dimanapuan keberada  hidup itu sendiri.


Dalam rangka menghidupkan iman keluarga dalam adat dan budaya lamaholot telah ditanamkan, semua kewajiban yang disebutkan bukanlah suatu tugas moral melainkan merupakan ungkapan iman. Supaya iman anak semakin kokoh, maka kewajiban orangtua terhadap perilaku iman adalah menyediakan waktu khusus untuk berdoa, menghadiri ibadat dan perayaan sakramen-sakramen. Mereka juga menjalankan kewajiban-kewajiban terhadap dunia dengan menyaksikan Kristus dalam karya dan saling mencintai satu sama lain. Sebelum iman ini tumbuh dalam suku dan budaya Lamaholot  telah diwariskan dengan berbagai ritus adat , sukur dan pujian pada sang pencipta Lera Wulan Tanah Ekan yang memberikan kehidupan, bercocok tanam, ritus adat perkawinan dimana sebelum melaksanakan perkawinan sipil/gereja telah dilakukan ritus adat perkawinan. 



Dalam aturan birokrasi/pemerintah kita sudah mengenal bebagai seksi yang telah dibuat oleh untuk dilaksanakan dan budaya Lamaholot sendiripun  memiliki aturan seperti ini dimana sebuah rumah memiliki seorang pemaku adat telah memiliki  seksinya masing-masing, petugas gurum bletar/humas, mi tuak/pelayan pesta, henuler wedehe/seksi pembantai dan memiliki pembantu masing-masing .
Kita mengambil salah satu contoh dalam budaya Lamholot dengan istilah suku adat yakni Gurum Beletar. Gurum Beletar sebagai pemangku adat kusus untuk membawa berita ataupun menyampaikan berita kepada masyrakat suku. Tidak ada orang lain yang punya hak untuk mengambil alih tugas ini baik itu dalam kalangan masyrakat sebagai pejabat pemerintah ataupun orang yang terpandang. Tugasnya turun temurun yang dipegang oleh anak laki-laki sulung.

 Jadi untuk pemangku adat tidak mengenal tentang mutasi jabatan ataupun turun jabatan karena ada unsure senang atau tidak senang  karena tugas itu sudah diemban sejak dari nenek moyang.
Sedangkan dalam kalangan pemerintahan biasa dikenal dengan kepala Humas  yang bertugas sebagai pembawa berita atau menyampaikan berita kepada masyarakat. Namun tugasnya terbatas dengan jangka waktu tertu bisa satu bulan satu tahun bahkan sampai akhir masa tugas/ pensiun dalam aturan kepegawaian.  Dalam jabatan pemerintahan bias kita ketahui dengan berbagai aturan yang mengikat yang perlu ditaati jika dalam masa jabatan tugas yang dilaksanakan dan dijalankan dengan baik maka akan bertahan. Dan banyak kita kenal ada yang gila jabatan ada pula yang gila hormat untuk meperoleh jabatan.

Budaya Lamaholot mulai terkikis oleh karena keadaan ekonomi maupun perkembangan jaman yang perlu di tumbuh kembangkan pada generasi muda sehingga budaya Lamaholot  tidak dapat hilang oleh karena perkembangan teknologi.  Dimana nilai moral menjadi tolak ukur untuk mempersatukan dan mempertahankan sikap hidup saling tolong menolong , menghormati, saling menghargai dan tidak membedakan akan suku, agama, maupun budaya.  Kita semua memiliki satu pencipta Lera wulan Tanah Ekan dengan satu tujuan yang sama hanya jalan kita yang kita lalui berbeda-beda. Dan ini budaya Lamaholot yang sudah terbina sejak nenek moyang hingga saat ini.  

http://www.sfi4.com/15579494.1101/FREE

Banyak kejadian yang dating dari luar untuk memecah belah persatuan dan kesatuan dengan berkedok agama namun, masyrakat kami selalu saling mendukung akan nilai-nilai budaya Lamaholot. Bayak anak muslim yang menjadi biarawan/biarawati dan dalam penyerahan dilakukan oleh keluarga dengan upacara bersama-sama. Dengan prinsip ini pilihan hidup yang akan ia jalankan sendiri bukan orang lain begitu juga sebaliknya. Dalam kenyataan semuanya selalu berpegang  pada ketulusan hati nurani setiap orang tanpa paksaan.








Masalah Adat Perkawinan Dalam Budaya Lamaholot

Masyarakat Flores dan Lembata memiliki adat dan budaya perkawinan yang sama yang dengan merbagai masalah dan kebisasaan yang disebut budaya Lamaholot/atakiwan.  Dalam seremonial adat Perkawinan hingga saat ini masih berjalan sesuai dengan ritus dan budaya yang di wariskan nenek moyang hingga kini dan terpelihara dengan baik.  
Ritus adat perkawinan ini sangatlah beda dari ritus adat yang lain, sepert ritus adat  sukuran atas hasil panen yang masih tetap terpelihara pada beberapa suku, sedangkan beberapa ritus adat sudah tinggal nama, yakni ritus penanaman benih khusus untuk rumah adat. 

Dimana yang hasilnya nanti akan dijadikan untuk keperluan ritual adat oleh pemangku rumah adat. Ritus ini sangatlah digemari oleh petarung-petarung handal yang boleh mengikutinya. Karena ini adalah pertarungan hadok/tunju, tanpa  menggunakan sarung tangan karena, memang sarung tinju saat itu tidak ada dan apa yang terjadi?  Banyak korban berjatuhan bahkan ada yang tak sadarkan diri namun inilah arena dan kita dihargai hanya seikat ketupat yang sudah dimasak itu piala penghargaan yang didapat. Beginilah budaya dalam arena hadok/tinju dan aku sendiri menjadi pelaku saat itu dengan tiga kali kemenangan dan dua kali kekalahan KO babak belur bro…ha.  

Itulah budaya di arena kebun adat saat benih sudah selesai ditanan untuk menghibur semua orang karena musim tanam sudah selesai.

Jadi dalam adat dan masalah  budaya  Lamaholot yang masih terpelihara baik hingga saat ini adalah ritus  adat perkawinan yang dapat disebutkan beberapa seperti :
Pane pemereng/Pergi minta;  Peminangan resmi dalam arti kedua pasanga lelaki dan wanita saling mencintai dan disetujui oleh orangtua kedua belah pihak.

Bote Kebara / Gendong wanita: Ini yang masalah yang sudah terjadi bisa orang sebut kawin paksa, wanita tidak mencintai si pria namun orang tua dari si wanita menyetujui untuk dinikakan.  Prosesnya tidaklah sulit apa bila siwanita ditemukan dimana saja, ke pasar atau lagi ada dijalan si laki-laki langsung menggendongnya dan membawah pulang kerumahnya dengan iringan music. Perkawinan ini sudah tidak ditemukan lagi. Jika hal ini masih berlaku hingga saai ini maka si prianya bukan pulang ke rumah namun berurusan dengan pihak kepolisian di dalam sel karena melanggar hak asasi.

Halak Rone; Perjodohan yang dilakukan oleh si pria tanpa kata-kata namun, hanya menggunakan sarung tenunnya. Proses ini dilkukan seorang pria saat wanita sedang menonton atau bercerita dengan temannya. Apa bila sarung yang dipakaikan pada wanita yang ingin dinikahkannya dan tidak membuaang atau mengembalikan kepada pemilik saat itu maka,  ini pertanda wanita menyetujui pernikahan dan itu tidak masalah. Dan jika sebaliknya sarung dibuang atau dikembalikan maka itu pertanda wanita tidak menyetujui untuk menikah.
Kar gewe/lari masuk; Dilakukan oleh seorang wanita yang mencintai seorang pria dan mendatangi rumah dan bermalam. Apa bila pria menyetujui maka dari pihak wanita akan mendatangi pihak lelaki untuk proses urusan adat. Dan apa bila pria tidak menyetujuinya maka pihak laki-laki akan menghantar pulang tanpa ada urusan adat.

Dekip gerut; Dilakukan oleh pria yang masuk dan tinggal di rumah wanita yang dicintai dengan membawa sebilah pisau dan menyelipkan di depan pintu masuk rumahsi wanita dan tinggal dirumah sampai pada akhirnya orangtua dari pihak wanita menyetujui maka akan mendatangi rumah orangtua si pria untuk urusan adat.

Masalah adat dan BudayaLamaholot wanita sangatlah dihormati walaupun usianya masih kecil karena nilai dari belis atau mas kawin dapat diukur dari gading gaja dengan besar ukuran yang berbeda. Karena wanita itu lemah dan harus dijaga dan dihormati sebagai manusia yang setara dan martabat.  Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa membedakan  suku, agama maupun budaya, dan kedudukan.
Ritus adat Perkawinan telah berubah sesesai perubahan jaman dengan berbagai macam cara untuk boleh berkeluarga namun nilai dari adat perkawinan itu tetap dijunjung tinggi  hingga saat ini.
Dalam proses pembicaraan adat perkawinan,  kedua belah pihak akan berdiskusi dengan perantara/ juru bicara adat dari kedua belah pihak dengan menetukan nilai dari belis yang menjadi  tanggungjawab pihak laki-laki.

Jika waktu pertemun sudah disepakati maka, juru bicara adat  mengatur semua persiapan dimana pihak  wanita akan  menerima kedatangan pihak laki-laki.
Dalam pembicaraan adat perkawinan berlangsung  para ibu-ibu yang mendamping suami dan berdiri di belakang suaminya masing-masing untuk menyiapkan segala keperluan barang adat yang akan diminta untuk diperlihatkan  diatas meja adat. Selama dalam pembicaraan apabila belum ada kesepakatan maka, tidak boleh menyajikan apapun untuk dimakan kecuali gulung tembako dan makan sirih pinang. 

Dalam proses pembicaraan adat berlangsung kedua orang tua kandung dua belah pihak ditambah pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan tidak akan makan dan minum ditempat itu karena dilarang dan menjadi  tradisi adat  hingga saat ini. Dan apa bila hal itu dilakukan maka akan ada resiko adat yang akan dialami dalam hidup karena melakukan kesalahat adat. Dan ini sangat dijaga karena berakibat pada penyakit yang akan diderit atau kelangsungan hidup berkeluarga akan mengalami masalah yang berkepanjangan. Ini yang disebut pelanggaran adat-istiadat dan untuk memulihkan pasti setelah ada korban baru akan diketahui penyebab itu. 

Ada tiga jenis ketentuan belis yakni; 

Anamihak;  yakni gading yang akan diterima oleh saudara laki-laki.
Airsusu mama berupa anting adat, gelang gading atau gading; ungkapan terima kasih untuk ibu yang sudah melahirkan,  merawat dan menjaga anaknya hingga dewasa,
Kayopuken wai matan,  berupa anting adat, gelang gading atau gading;  minta restu dan berkat dari om. Sebutan Om adalah saudara laki-laki dari ibu si wanita,  dengan tujuan agar kehidupan rumah tangga yang baru akan dibangun selalu hidup bahagia.  Apa bila dalam kehidupan rumah tangga memiliki anak perempuan maka anak laki-laki dari om berhak untuk mengambil kembali ( istilah adat gewalik hemei wokol ) boleh dinikakan jika saling mencintai. Dan apa bila  memiliki anak laki-laki maka  akan dipanggil sebagai om. 

Proses  pernikahan ini di sebut sebagai pernikahan tiga anak tungku.
Belis dalam adat dan budaya Lamaholot  berupa gading dari taring gajah yang mana hewan gaja ini tidak pernah ada dan hidup di daerah ini. Untuk memiliki gading sangatlah sulit untuk di dapat karena  biaya sangatlah  mahal yakni mencapai  Rp. 85.000.000,-  untuk saat ini.

Oleh karena itu dalam budaya Lamaholot wanita bernilai tinggi dan  sangat dihormati bukan karena harga dari sebatang gading yang mahal namun,  norma dan budaya yang mengikat untuk saling menghormati dan menghargai terutama kaum wanita.  Peran seorang wanita dalam suku sangatlah penting yakni sebagai symbol kasih sayang/belimut rayan bagi masyarakat suku dalam mengabdikan diri pada suku.
Banyak yang penilaian luar belis sangat mahal dan memberatkan pihak laki-laki namun, kenyataan tidak ada yang untung ataupun rugi. Malah sebaliknya pihak wanita menghargai anaknya saat meniggalkan rumahnya. Gading tidak dapat melayani siapapun, harta bukan menjadi ukuran bagi seorang wanita namun, sikap saling menghormati dan menghargai antar hubungan kedua suku terutama kaum wanita yang memiliki harkat dan martabat yang sama.


 si gadis menangis meninggalkan rumahnya dengan tangisan,
Goe pia welik witi bala,
ra peten goe le take  
ra sayang bala rae.

Saudaranya akan menghantar kepergian saudarinya dengan pesan harapan dalam syair  lagu;
Rete ro kae binek  rete ro kae,
soron opum bala binek goe ro rete ro kae,
peten gole take binek peten gole take, 
go sayang e e.. go sayang e…
benik peten –peten gole take.





Nilai Gading Sebagai Simbol Belis Perkawinan Adat

Masyarakat Flores dan Lembata banyak yang tidak pernah melihat dan mengenal bentuk dari hewan gajah itu sendiri. Sejak dari nenek moyang hingga kini hanya sebuah cerita tentang hewan gajah dan sedikit orang yang dapat melihat hewan gaja jika pergi ke luar daerah yang lain maka ia baru akan tahu jenis hewan ini. Itu berarti di daratan Flores dan Lembata hewan ini tidak pernah hidup dan berkembang biak ditempat ini.  Ini menjadi  hal yang luar bisa  karena, gading gaja dijadikan sebagai alat mas kawin/belis  untuk meminang seorang  gadis yang akan dijadikan istri. 

http://budayaku1.blogspot.co.id/2016/07#adat-dan-budaya-lamaholot-flores/30_html
 
Dalam cerita sejarah masyarakat Lamaholot,  gading gaja dibawah oleh para penjajah  dari Afrika dan dijadikan alat tukar berupa bahan rempah-rempah  di daerah Flores dan Lembata.  Pada akhirnya pohon cendana yang menjadi kebanggaan hanya akan jadi sebuah cerita bagi masyarakat setempat.  Para Penjajah mengambil hasil cendana mulai dari batang sampai akar untuk dibawah keluar daerah untuk diperdagangkan dengan harga yang mahal.  Pada akhirnya tanah subur yang ditumbuhi pohon cendana kini hanya sebuah cerita miuntuk daerahnya.
Dengan tipu daya para penjajah  memanfaatkan hasil cendana untuk ditukarkan dengan gading gajah ibarat sebuah barang istimewah saat itu. Itulah kelebihan para penjajah memanfaatkan kelemahan masyarakat setempat,  ibarat sekarung emas ditukarkan dengan sekarung uang.  Dengan memanfaatkan kelemahan masyarakat saat itu gading dianggap sebagai barang berharga yang istimewah. Dan akhirnya gading gaja menjadi barang yang istimewa bagi masyrakat Flores dan Lembata.  Masyarakat menganggap gading barang berharga  maka, dijadikan sebagai  mas kawin/belis bagi kaum wanita yang akan menikah. Karena gading ini dianggap sebagai barang langkah dan juga menjadi alat untuk belis seorang wanita maka harganyapun menjadi mahal.  

Masyarakat Lamaholot merasa bahwa gading ini barang langkah dan susah didapat maka, masyarakat putuskan untuk dijadikan sebagai alat mas kawin/belis bagi kaum wanita. Aturan adat Lamaholot diberlakukan dan disepakati gading gajah menjadi alat untuk belis bagi kaum wanita di Flores dan Lembata.  Aturan adat Lamaholot inipun  pada akirnya diwariskat pada anak cucunya hingga kini. 
Namun sebenarnya ini hanya  tipu daya para penjajah bagi masyrakat karena gading hanya sebuah taring dari hewan gajah yang tidak ada  nilai berarti bagi para penjajah dalam siasat untuk menipu masyarakat.

Hal ini bagi generasi muda menganggap bahwa, gading merupkan suatu hal yang  tidak bermanfaat lagi karena, untuk apa gading ini disimpan bukannya uang yang harus disimpan. Hanya masyarkat lamaholot saja yang dapat menggunakannya masyarakat yang lainkan tidak ada artinya sama sekali.  Ini pendapat dari generasi muda yang tidak memahami akan nilai adat dan budaya Lamaholot yang semakin terkikis akan perubahan jaman.  Namun dengan adanya adat dan budaya  maka,  kehidupan sosial  dapat  mempengaruhi perilaku hidup  sosial dalam sebuah suku yang saling berkaitan.

Kehidupan adat dan Budaya  Lamaholot  apabila  sebuah suku memiliki  gading  maka orang  akan merasa kehidupan sosialnya lebih berarti dibandingkan orang yang memiliki harta yang berlimpah karena tidak ada pengaruh dalam kehidupan sosial. Karena itu gading gajah sangatlah mahal untuk adat dan budaya Lamaholot. 

Kehidupan sosial budaya  masyarakat Lamaholot sangatlah  rukun,  saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lain tanpa membedakan suku, agama  maupun staus sosial.  Seorang wanita dihormati dan dihargai sebagai orang yang  lemah,  untuk itu perilu dihomati  dan dihargai  sebagai makluk ciptaan Tuhan yang mempunyai kedudukan sosial yang setara dengan kaum laki-laki. 

Oleh karena itu tuntutan adat  yang sudah diwariskan oleh nenek moyang sangat baik untuk dilestarikan dan dipertahankan demi penyetarakan kaum wanita dalam kehidupan sosial  dalam budaya Lamaholot. Walaupun dengan adanya  perubahan jaman hingga saat  ini,  budaya Lamaholot  tetap dijaga dan dipelihara dengan baik,  dan bayak hal yang  dapat disepakati mengikuti perubahan jaman dalam menggunakan alat untuk belis namun, tidak mengurangi adat dan budaya Lamaholot. Ini disebabkan karena gading sudah jarang ditemukan karena berubah bentuk dalam karya seni untuk memngubanya menjadi gelang  gading.

Dengan demikian satu hal yang dianggap tidak bermanfaat namun, bagi masyarakat dalamadat dan budaya Lamaholot merupakan barang yang istimewah.  Gading gajah sebagai alat untuk mengangkat harkat dan martabat kaum wanita Lamaholot.  Wanita dipandang sebagai sosok yang bernilai tinggi bukan untuk dipermainkan namun sebagai pemersatu antara suku dalam adat dan budaya Lamaholot.  Gading hanyalah sebuah alat yang dapat mengikat, sehingga kaum wanita tidak menjadi korban penindasan dalam kehidupan sosial bermasyarakat.  Dengan  mahalnya gading orang tidak semena-mena terhadap kaum wanita atau kaum yang lemah untuk dipermainkan.  Dan dengan adanya aturan adat dapat mengatasi masalah bagi kaum wanita pada adat dan budaya Lamaholot. Dengan gading sebagai alat untuk belis maka kaum wanita mempunya nilai sosial yang  tinggi yang  tinggi dalam adat dan budaya Lamaholot.   

Dengan demikian kaum wanita dihormati dan dihargai sebagai makluk ciptaan yang mempunyai harkat dan martabat yang sama. Bukan berarti dengan adanya gading dapat membeli atau memperlakukan kaum wanita semena-mena. Apabila ada pihak yang dirugikan berakibat pada suku bahkan nyawa menjadi taruhan. Jika wanita  diperlakukan tidak sesuai dengan norma-norma yang ada maka akan berurusan dengan suku.
Adat dan Budaya Lamaholot  memiliki corak mempersatukan antar suku-suku dan pribadi orang karena masyarakat Lamaholot hidup dalam kekerabatan yang  tinggi.   Jika ada masalah maka proses penyelesaian dilakukan oleh suku. Masalah dalam suku dapat diselesai jika wanita tidak dilibatkan maka bukan penyelesaikan masalah namun, malah sebaliknya masalah akan bertambah rumit.  Karena itu adat  Lamaholot kaum wanita sangat berperan dalam menyelesaikan suatu masalah. Peran seorang wanita dalam suku menjadi sangat penting , karena menjadi penengah dalam menyelesaikan masalah suku. 

http://budayaku1.blogspot.co.id/2016/07#adat-dan-budaya-lamaholot-flores/30_html

Sebuah contoh jika ada pertikaian dalam sebuah suku  entah itu masalah besar atau masalah kecil  maka, wanita berperan pening dalam mengatasi masalah ini. Namun wanita jangan sampai terluka atau tergores sedikitpun.  Jika hal ini terjadi maka akan ada masalah baru bahkan nyawa menjadi taruhan dalam  menyelesaikan masalah seperti ini.
Inilah budaya Lamaholot wanita adalah pelindung bukan diperjual belikan dengan sebatang gading namun wanita menjadi sosok bernilai sosial tinggi  dan wanita dihormati dan dihargai  setara  dengan harkat dan martabat sebagai makluk ciptaan Tuhan.