Jumat, 29 Juli 2016

Masalah Adat Perkawinan Dalam Budaya Lamaholot

Masyarakat Flores dan Lembata memiliki adat dan budaya perkawinan yang sama yang dengan merbagai masalah dan kebisasaan yang disebut budaya Lamaholot/atakiwan.  Dalam seremonial adat Perkawinan hingga saat ini masih berjalan sesuai dengan ritus dan budaya yang di wariskan nenek moyang hingga kini dan terpelihara dengan baik.  
Ritus adat perkawinan ini sangatlah beda dari ritus adat yang lain, sepert ritus adat  sukuran atas hasil panen yang masih tetap terpelihara pada beberapa suku, sedangkan beberapa ritus adat sudah tinggal nama, yakni ritus penanaman benih khusus untuk rumah adat. 

Dimana yang hasilnya nanti akan dijadikan untuk keperluan ritual adat oleh pemangku rumah adat. Ritus ini sangatlah digemari oleh petarung-petarung handal yang boleh mengikutinya. Karena ini adalah pertarungan hadok/tunju, tanpa  menggunakan sarung tangan karena, memang sarung tinju saat itu tidak ada dan apa yang terjadi?  Banyak korban berjatuhan bahkan ada yang tak sadarkan diri namun inilah arena dan kita dihargai hanya seikat ketupat yang sudah dimasak itu piala penghargaan yang didapat. Beginilah budaya dalam arena hadok/tinju dan aku sendiri menjadi pelaku saat itu dengan tiga kali kemenangan dan dua kali kekalahan KO babak belur bro…ha.  

Itulah budaya di arena kebun adat saat benih sudah selesai ditanan untuk menghibur semua orang karena musim tanam sudah selesai.

Jadi dalam adat dan masalah  budaya  Lamaholot yang masih terpelihara baik hingga saat ini adalah ritus  adat perkawinan yang dapat disebutkan beberapa seperti :
Pane pemereng/Pergi minta;  Peminangan resmi dalam arti kedua pasanga lelaki dan wanita saling mencintai dan disetujui oleh orangtua kedua belah pihak.

Bote Kebara / Gendong wanita: Ini yang masalah yang sudah terjadi bisa orang sebut kawin paksa, wanita tidak mencintai si pria namun orang tua dari si wanita menyetujui untuk dinikakan.  Prosesnya tidaklah sulit apa bila siwanita ditemukan dimana saja, ke pasar atau lagi ada dijalan si laki-laki langsung menggendongnya dan membawah pulang kerumahnya dengan iringan music. Perkawinan ini sudah tidak ditemukan lagi. Jika hal ini masih berlaku hingga saai ini maka si prianya bukan pulang ke rumah namun berurusan dengan pihak kepolisian di dalam sel karena melanggar hak asasi.

Halak Rone; Perjodohan yang dilakukan oleh si pria tanpa kata-kata namun, hanya menggunakan sarung tenunnya. Proses ini dilkukan seorang pria saat wanita sedang menonton atau bercerita dengan temannya. Apa bila sarung yang dipakaikan pada wanita yang ingin dinikahkannya dan tidak membuaang atau mengembalikan kepada pemilik saat itu maka,  ini pertanda wanita menyetujui pernikahan dan itu tidak masalah. Dan jika sebaliknya sarung dibuang atau dikembalikan maka itu pertanda wanita tidak menyetujui untuk menikah.
Kar gewe/lari masuk; Dilakukan oleh seorang wanita yang mencintai seorang pria dan mendatangi rumah dan bermalam. Apa bila pria menyetujui maka dari pihak wanita akan mendatangi pihak lelaki untuk proses urusan adat. Dan apa bila pria tidak menyetujuinya maka pihak laki-laki akan menghantar pulang tanpa ada urusan adat.

Dekip gerut; Dilakukan oleh pria yang masuk dan tinggal di rumah wanita yang dicintai dengan membawa sebilah pisau dan menyelipkan di depan pintu masuk rumahsi wanita dan tinggal dirumah sampai pada akhirnya orangtua dari pihak wanita menyetujui maka akan mendatangi rumah orangtua si pria untuk urusan adat.

Masalah adat dan BudayaLamaholot wanita sangatlah dihormati walaupun usianya masih kecil karena nilai dari belis atau mas kawin dapat diukur dari gading gaja dengan besar ukuran yang berbeda. Karena wanita itu lemah dan harus dijaga dan dihormati sebagai manusia yang setara dan martabat.  Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa membedakan  suku, agama maupun budaya, dan kedudukan.
Ritus adat Perkawinan telah berubah sesesai perubahan jaman dengan berbagai macam cara untuk boleh berkeluarga namun nilai dari adat perkawinan itu tetap dijunjung tinggi  hingga saat ini.
Dalam proses pembicaraan adat perkawinan,  kedua belah pihak akan berdiskusi dengan perantara/ juru bicara adat dari kedua belah pihak dengan menetukan nilai dari belis yang menjadi  tanggungjawab pihak laki-laki.

Jika waktu pertemun sudah disepakati maka, juru bicara adat  mengatur semua persiapan dimana pihak  wanita akan  menerima kedatangan pihak laki-laki.
Dalam pembicaraan adat perkawinan berlangsung  para ibu-ibu yang mendamping suami dan berdiri di belakang suaminya masing-masing untuk menyiapkan segala keperluan barang adat yang akan diminta untuk diperlihatkan  diatas meja adat. Selama dalam pembicaraan apabila belum ada kesepakatan maka, tidak boleh menyajikan apapun untuk dimakan kecuali gulung tembako dan makan sirih pinang. 

Dalam proses pembicaraan adat berlangsung kedua orang tua kandung dua belah pihak ditambah pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan tidak akan makan dan minum ditempat itu karena dilarang dan menjadi  tradisi adat  hingga saat ini. Dan apa bila hal itu dilakukan maka akan ada resiko adat yang akan dialami dalam hidup karena melakukan kesalahat adat. Dan ini sangat dijaga karena berakibat pada penyakit yang akan diderit atau kelangsungan hidup berkeluarga akan mengalami masalah yang berkepanjangan. Ini yang disebut pelanggaran adat-istiadat dan untuk memulihkan pasti setelah ada korban baru akan diketahui penyebab itu. 

Ada tiga jenis ketentuan belis yakni; 

Anamihak;  yakni gading yang akan diterima oleh saudara laki-laki.
Airsusu mama berupa anting adat, gelang gading atau gading; ungkapan terima kasih untuk ibu yang sudah melahirkan,  merawat dan menjaga anaknya hingga dewasa,
Kayopuken wai matan,  berupa anting adat, gelang gading atau gading;  minta restu dan berkat dari om. Sebutan Om adalah saudara laki-laki dari ibu si wanita,  dengan tujuan agar kehidupan rumah tangga yang baru akan dibangun selalu hidup bahagia.  Apa bila dalam kehidupan rumah tangga memiliki anak perempuan maka anak laki-laki dari om berhak untuk mengambil kembali ( istilah adat gewalik hemei wokol ) boleh dinikakan jika saling mencintai. Dan apa bila  memiliki anak laki-laki maka  akan dipanggil sebagai om. 

Proses  pernikahan ini di sebut sebagai pernikahan tiga anak tungku.
Belis dalam adat dan budaya Lamaholot  berupa gading dari taring gajah yang mana hewan gaja ini tidak pernah ada dan hidup di daerah ini. Untuk memiliki gading sangatlah sulit untuk di dapat karena  biaya sangatlah  mahal yakni mencapai  Rp. 85.000.000,-  untuk saat ini.

Oleh karena itu dalam budaya Lamaholot wanita bernilai tinggi dan  sangat dihormati bukan karena harga dari sebatang gading yang mahal namun,  norma dan budaya yang mengikat untuk saling menghormati dan menghargai terutama kaum wanita.  Peran seorang wanita dalam suku sangatlah penting yakni sebagai symbol kasih sayang/belimut rayan bagi masyarakat suku dalam mengabdikan diri pada suku.
Banyak yang penilaian luar belis sangat mahal dan memberatkan pihak laki-laki namun, kenyataan tidak ada yang untung ataupun rugi. Malah sebaliknya pihak wanita menghargai anaknya saat meniggalkan rumahnya. Gading tidak dapat melayani siapapun, harta bukan menjadi ukuran bagi seorang wanita namun, sikap saling menghormati dan menghargai antar hubungan kedua suku terutama kaum wanita yang memiliki harkat dan martabat yang sama.


 si gadis menangis meninggalkan rumahnya dengan tangisan,
Goe pia welik witi bala,
ra peten goe le take  
ra sayang bala rae.

Saudaranya akan menghantar kepergian saudarinya dengan pesan harapan dalam syair  lagu;
Rete ro kae binek  rete ro kae,
soron opum bala binek goe ro rete ro kae,
peten gole take binek peten gole take, 
go sayang e e.. go sayang e…
benik peten –peten gole take.





2 komentar:

  1. Terima kasih Pak, blognya sangat bermanfaat buat proses kuliahku. Titip salam buat mama saya Ibu Min Tukan dan bapa saya Bapak Nenyamin Hurit dan orang2 Lamahora.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih nanti saya sampaikan, kami satu lingkungan

      Hapus